Oleh : Intan Pratiwi Nirwana Putri (1711143034)
Landasan Teori
Dalam menjalankan pnyaluran dana,
penyediaan dana, ataupun dalam kegiatan usaha lainnyamaka bank harus bertindakdengan
prinsip kehati-hatian, antara lain
dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang
diberikan, sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 10
tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992
tentangperbankan. Ketentuan tersebut apabila dipandang secara luas merupakan
ketentuan yang memberikan batasan-batasan tertentu pada bank dalam menjalankan
kegiatan penerimaan dana atau penyalurannya. Kewajiban tersebut sangatlah
beralasan karena dalam praktek perbankan selama ini salah satu penyebab utama
kegagalan perbankan bermula dari dilanggarnya prinsip kehati-hatian serta
pemberian kredit melebihi kewajaran.
Pasal 11 undang-undang nomor 7 tahun
1992 tentang perbankan memuat ketentuan bahwa Bank Indonesia sebagai bank
sentral dapat menetapkan peraturan Batas Maksimum Pemberian Kredit/ BMPK. Pelaksanaan
ketentuan pembatasan kredit ini wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan dari
Bank Indonesia. Mengingat pelaksanaan pembatasan ini pun tidaklah dapat
dilakukan segera setalah undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan
tersebut berlaku. Karenanya, ada ketentuan peralihan bahwa pelaksanaannya dapat
dilakukan secara bertahap selama lima tahun (pasal 56 Undang-undang No. 7 tahun
1992 tentang perbankan). Kebijakan ini bertujuan agar tidak menimbulkan
kesulitan yang berat bagi perbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud,
mengingat pada saat itu masih banyak bank yang memberikan kredit melebihi
ketentuan batas maksimum. Pengertian BMPK, yaitu suatu presentase perbandingan
bats maksimum penyediaan dan yang diperkenankan terhadap modal bank.
Berdasarkan
penjelasan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang
harus dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit yang dikenal dengan “5C”.
Adapun prinsip 5C yang dilakukan atau dinilai oleh pihak bank yang bersangkutan
yaitu:
·
Character
(Penilaian Watak)
Penilaian
watak/kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan
iktikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga
tidak menyulitkan bank dikemudian hari.
·
Capacity
(Penilaian Kemampuan)
Bank
harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan
kemapuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai akan
dikelola oleh orang-orang yang taat, sehingga calon debiturnya dalam jangka
waktu tertentu dapat melunasi hutangnya
·
Capital
(Penilaian Terhadap Modal)
Bank
harus melakukan analisa terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai
masa lalu dan masa yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan
pemodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek usaha calon debitur.
Nasabah wajib menyediakan modal untuk usahanya dan tugas bank adalah menambahi
modal tersebut.
·
Collateral
(Penilaian terhadap Agunan)
Untuk
menanggung pembayaran kredit macet calon debitur umumnya menyediakan jaminan
berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal
sejumlah kredit yang diberikan
·
Condition
Of Economy (Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur)
Bank
harus menganalisa keadaan pasar di dalam dan di luar negeri, baik masa lalu
maupun masa yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek
tata usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diperiksa
Studi
Kasus
kredit
macet di Bank Tabungan Negara (BTN) cabang Blitar. Sebenarnya, kasus ini pengembangan
dari kasus serupa di BNI cabang Kediri yang menyeret tiga orang sebagai
pesakitan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Mereka adalah 2 mantan pegawai BNI
Kediri, Alfian dan Yustarso, serta Bambang Santoso, debitor.
Berawal
ketika Bambang Santoso mengajukan kredit uang Rp 2,5 miliar ke BNI Kediri untuk
keperluan usaha ternak ayamnya. Untuk keperluan kredit, Bambang mengagunkan
sertifikat lahan miliknya. Pada tahun 2013, Bambang tersandung masalah dan
hanya mampu membayar cicilan total Rp 700 juta. Sisanya, Rp1,8 miliar tertunggak.
Takut
asetnya disita bank karena tak bisa melunasi utang, Bambang kemudian meminta
saran kepada Yustarso. Yustarso menyarankan Bambang meminjam dana dari bank
lain, untuk dibayarkan utang ke BNI. Yustarso kemudian meminta bantuan tiga
pegawai BNI Kediri untuk mengeluarkan agunan Bambang, untuk diagunkan kembali
ke BTN Blitar.
Upaya
itu berhasil. Yustarso rupanya meminta fee jasa mengeluarkan agunan di BNI
sebesar Rp 100 juta. Celakanya, berhasil meminjam uang ke BTN, Bambang tak juga
melunasi utangnya ke BNI Kediri serta tidak bisa melunasi utangnya di BTN cabang
blitar.
Analisis
Kasus
Sesuai
kasus diatas pihak bank tidak memakai prinsip kehati-hatian dalam penyaluran
dana, serta pegawai bank yang tidak amanah dalam kinerjanya. Dalam hal ini
dapat dikataka bahwa nasabah dapat dikategorikan sebagai nasabah yang tidak
memiliki iktikad baik karena tidak bertanggungjawab atas kewajibannya. Sebelum melakukan
perkreditan pihak bank harus melihat dengan teliti bagaimana karakter debitur
tersebut serta prinsip-prinsip yang lain. Bank terlalu sembrono dalam kasus
tersebut karena bank terlalu banyak mengeluarkan uang untuk usaha ternak ayam
tersebut dan tidak memikirkan masa yang akan datang. Bank tidak meneliti keahlian debitur dalam bidang usahanya dan kemapuan
manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai akan dikelola
oleh orang-orang yang taat, sehingga debiturnya dalam jangka waktu tertentu
dapat melunasi hutangnya
Berdasarkan
dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko dalam
memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
(2) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat
dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP
tanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit
bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif
penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan
kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).
Dalam surat edaran tersebut yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah
melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring adalah
sebagai berikut:
- Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.
- Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
- Melalui restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambaha kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Kredit macet adalah
akibat pihak nasabah tidak dapat membayar lunas hutang kreditnya, untuk lebih
jelas lagi arti kredit macet adalah suatu keadaan dimana pihak nasabah tidak
mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Untuk penyelamatan
kredit bermasalah melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring adalah
sebagai berikut:
- Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.
- Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
- Melalui restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambaha kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning
Daftar Pustaka
Di akses dari http://www.bangsaonline.com/berita/2791/kredit-macet-kejati-bidik-pejabat-btn-blitar
pada 18 Mei 2016 pukul 20.13
Djumhana.Muhamad,
Hukum Perbankan di Indonesia,(Bandung:PT. Citra Aditya karya,2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar