Rabu, 18 Mei 2016

KREDIT MACET (Tugas Hukum Perbankan di Indonesia)

 Oleh : Intan Pratiwi Nirwana Putri (1711143034)
Landasan Teori
            Dalam menjalankan pnyaluran dana, penyediaan dana, ataupun dalam kegiatan usaha lainnyamaka bank harus bertindakdengan prinsip  kehati-hatian, antara lain dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang diberikan, sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentangperbankan. Ketentuan tersebut apabila dipandang secara luas merupakan ketentuan yang memberikan batasan-batasan tertentu pada bank dalam menjalankan kegiatan penerimaan dana atau penyalurannya. Kewajiban tersebut sangatlah beralasan karena dalam praktek perbankan selama ini salah satu penyebab utama kegagalan perbankan bermula dari dilanggarnya prinsip kehati-hatian serta pemberian kredit melebihi kewajaran.
            Pasal 11 undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan memuat ketentuan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat menetapkan peraturan Batas Maksimum Pemberian Kredit/ BMPK. Pelaksanaan ketentuan pembatasan kredit ini wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan dari Bank Indonesia. Mengingat pelaksanaan pembatasan ini pun tidaklah dapat dilakukan segera setalah undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan tersebut berlaku. Karenanya, ada ketentuan peralihan bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan secara bertahap selama lima tahun (pasal 56 Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan). Kebijakan ini bertujuan agar tidak menimbulkan kesulitan yang berat bagi perbankan dalam memenuhi ketentuan dimaksud, mengingat pada saat itu masih banyak bank yang memberikan kredit melebihi ketentuan batas maksimum. Pengertian BMPK, yaitu suatu presentase perbandingan bats maksimum penyediaan dan yang diperkenankan terhadap modal bank.  
Berdasarkan penjelasan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang harus dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit yang dikenal dengan “5C”. Adapun prinsip 5C yang dilakukan atau dinilai oleh pihak bank yang bersangkutan yaitu:
·         Character (Penilaian Watak)
Penilaian watak/kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan iktikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman, sehingga tidak menyulitkan bank dikemudian hari.
·         Capacity (Penilaian Kemampuan)
Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemapuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai akan dikelola oleh orang-orang yang taat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu dapat melunasi hutangnya
·         Capital (Penilaian Terhadap Modal)
Bank harus melakukan analisa terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan masa yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan pemodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek usaha calon debitur. Nasabah wajib menyediakan modal untuk usahanya dan tugas bank adalah menambahi modal tersebut.
·         Collateral (Penilaian terhadap Agunan)
Untuk menanggung pembayaran kredit macet calon debitur umumnya menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sejumlah kredit yang diberikan
·         Condition Of Economy (Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur)
Bank harus menganalisa keadaan pasar di dalam dan di luar negeri, baik masa lalu maupun masa yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek tata usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diperiksa
Studi Kasus
kredit macet  di Bank Tabungan Negara (BTN) cabang Blitar. Sebenarnya, kasus ini pengembangan dari kasus serupa di BNI cabang Kediri yang  menyeret tiga orang sebagai pesakitan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Mereka adalah 2 mantan pegawai BNI Kediri, Alfian dan Yustarso, serta Bambang Santoso, debitor.
Berawal ketika Bambang Santoso mengajukan kredit uang Rp 2,5 miliar ke BNI Kediri untuk keperluan usaha ternak ayamnya. Untuk keperluan kredit, Bambang mengagunkan sertifikat lahan miliknya. Pada tahun 2013, Bambang tersandung masalah dan hanya mampu membayar cicilan total Rp 700 juta. Sisanya, Rp1,8 miliar tertunggak.
Takut asetnya disita bank karena tak bisa melunasi utang, Bambang kemudian meminta saran kepada Yustarso. Yustarso menyarankan Bambang meminjam dana dari bank lain, untuk dibayarkan utang ke BNI. Yustarso kemudian meminta bantuan tiga pegawai BNI Kediri untuk mengeluarkan agunan Bambang, untuk diagunkan kembali ke BTN Blitar.
Upaya itu berhasil. Yustarso rupanya meminta fee jasa mengeluarkan agunan di BNI sebesar Rp 100 juta. Celakanya, berhasil meminjam uang ke BTN, Bambang tak juga melunasi utangnya ke BNI Kediri serta tidak bisa melunasi utangnya di BTN cabang blitar.
Analisis Kasus
Sesuai kasus diatas pihak bank tidak memakai prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana, serta pegawai bank yang tidak amanah dalam kinerjanya. Dalam hal ini dapat dikataka bahwa nasabah dapat dikategorikan sebagai nasabah yang tidak memiliki iktikad baik karena tidak bertanggungjawab atas kewajibannya. Sebelum melakukan perkreditan pihak bank harus melihat dengan teliti bagaimana karakter debitur tersebut serta prinsip-prinsip yang lain. Bank terlalu sembrono dalam kasus tersebut karena bank terlalu banyak mengeluarkan uang untuk usaha ternak ayam tersebut dan tidak memikirkan masa yang akan datang. Bank tidak meneliti  keahlian  debitur dalam bidang usahanya dan kemapuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayai akan dikelola oleh orang-orang yang taat, sehingga debiturnya dalam jangka waktu tertentu dapat melunasi hutangnya
Berdasarkan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam
memberikan Penyediaan Dana, khususnya Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
(2) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank wajib memiliki pedoman
kebijakan dan prosedur tertulis tentang Penyediaan Dana kepada Pihak
Terkait dan atau Penyediaan Dana besar (large exposures).
Mengenai penyelamatan kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam surat edaran tersebut yang dimaksud dengan penyelamatan kredit bermasalah melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring adalah sebagai berikut:
  1. Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.
  2. Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
  3. Melalui restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambaha kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Kredit macet adalah akibat pihak nasabah tidak dapat membayar lunas hutang kreditnya, untuk lebih jelas lagi arti kredit macet adalah suatu keadaan dimana pihak nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Untuk penyelamatan kredit bermasalah melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring adalah sebagai berikut:
  1. Melalui rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/ jangka waktu kredit termasuk tenggang (grace priod), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.
  2. Melalui reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
  3. Melalui restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambaha kredit, atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi perusahaan, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning
Daftar Pustaka
Djumhana.Muhamad, Hukum Perbankan di Indonesia,(Bandung:PT. Citra Aditya karya,2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar