Sabtu, 07 November 2015

PENERAPAN DUA PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK (Tugas UTS Sosiologi Hukum)

 Oleh :Intan Pratiwi Nirwana Putri (1711143034) HES 3B

PENERAPAN DUA PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

       Disini saya akan membahas mengenai penerapan dua paradigma dalam undang-undang perlindungan anak.  sebelum membahas mengenai penerapan dua paradigma dalam pasal-pasal yang ada dalam undang-undang perlindungan anak saya akan membahas mengenai apa yang melatar belakangi pemerintah membuat undang-undang perlindungan anak, menurut saya pemerintah membuat undang-undang perlindungan anak tersebut karena anak adalah asset Negara yang akan menjadi generasi penerus maka hak-hak sang anak harus dilindungi, untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak, agar menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapa hidup, tumbuh dan berkembang, dan mengupayakan agar hak-hak anak tidak dirugikan.

       Seperti kita ketahui bahwa setiap tahun diperkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia. Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia masih berumur dibawah 18 tahun, dengan 40.000-70.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. Institute perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5 persen korban trafiking masih berusia 14 tahun walaupun sebagian besar perdagangan anak melibatkan anak-anak usia 17 tahun. Permintaan seks terhadap anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebi baik membuat anak-anak rentan. Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk tujuan seks karena mereka sering kali kurang berpendidikan, lebih mudah untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang telah dewasa, maka pemerintah membuat Peraturan mengenai perlindungan anak agar anak-anak bisa terlindungi hak nya.

Analisis  kali ini akan menganalisis mengenai pasal 8, pasal 9, pasal 59, pasal 83 dan pasal 88, dan penerapan dua paradigma dalam pasal-pasal perlindungan anak, sebagaimana kita ketahui bahwa paradigm hukum ada dua yaitu :

1.    Hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak tertinggal oleh laju perubahan masyarakat.
Cirri-ciri dari paradigma ini adalah :
a.    Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung saling ketergantungan
b.    Hukum selalu menyesuaikan diri pada perubahan sosial
c.    Hukum berfungsi sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial.
2.    Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan
Cirri-ciri dari paradigma ini adalah :
a.    Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat
b.    Hukum merupakan alat merubah masyarakat secara langsung
c.    Hukum berorientasi masa depan

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9

1.    Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
(1a)    Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
2.    Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak  Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Dalam pasal 8 dan pasal 9 ini relevan diterapkan pada masyarakat dan pasal ini masuk dalam paradigma yang pertama bahwa hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat karena masyarakat menginginkan setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Dan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk menumbuh kembangkan potensi yang ada pada diri anak, maka dengan ini hukum harus melayani apa yang di inginkan oleh masyarakat, dalam paradigma ini hukum sebagai hal yang mengabdi kepada kebutuhan masyarakat. Namun pada kenyataannya pemerintah belum efektif menerapkan kedua pasal ini, masih banyak anak yang tidak memperoleh semua itu.
Pasal 59

1.    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
2.    Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a.    Anak dalam situasi darurat;
b.    Anak yang berhadapan dengan hukum;
c.    Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d.    Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e.    Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f.    Anak yang menjadi korban pornografi;
g.    Anak dengan HIV/AIDS;
h.    Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i.    Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
j.    Anak korban kejahatan seksual;
k.    Anak korban jaringan terorisme;
l.    Anak Penyandang Disabilitas;
m.    Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n.    Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o.    Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.

Pasal 59A

Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a.    penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b.    pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c.    pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan
d.    pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Dalam pasal 59 dan 59 A ini relevan diterapkan dimasyarakat, pasal ini masuk dalam paradigma pertama yaitu Hukum sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, bahwa pasal ini masuk dalam cirri-ciri yang menyatakan Hukum berfungsi sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial. Hal ini adalah bahwa hukum akan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, disini hukum dibuat atas dasar apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat. Namun kenyataannya masih belum efektif pelaksanaannya.

Pasal 83

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 88

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal ini sesungguhnya telah mengalami perubahan dari UU nomor 23 tahun 2002 kemudian dirubah pada UU nomor 35 tahun 2014 namun inti dari pasal tersebut masih sama mengenai sanksi yang didapat oleh seseorang yang melanggar hak perlindungan anak. Dalam pasal ini kurang relevan diterapkan di masyarakat, karena mengingat sanksi yang dikenakan oleh pelaku masih kurang berat, harapan dari masyarakat sendiri seseorang yang telah melanggar hak anak dijatuhi hukuman seberat-beratnya bahkan seumur hidup. Pasal ini masuk dalam paradigma yang ke dua yaitu Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan.hukum dalam pasal ini diciptakan untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalan hukum yang dimungkinkan akan muncul. Persoalan hukum yang diprediksi akan datang dihadapi dengan merencanakan atau mempersiapkan secara matang. Oleh sebab itu pemerintah membuat pasal ini untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran hak-hak pada anak. Namun harusnya pasal ini dirubah mengenai sanksi yang diberikan, harusnya sansi yang diberikan bisa ditambah atau bisa dikenakan sanksi seumur hidup mengingat persoalan yang dilakukan sangat merusak mental anak dan merugikan hak-hak anak.

Daftar Pustaka

1.    Zulfatun Ni’mah,S.H.I., M.Hum,Sosiologi Hukum,(Yogyakarta: Teras,2012) Hlm 94-98
2.    di akses dari situs http://pro-kontra-penahanan-terhadap-anak_9460.html  tanggal 06 november 2015 jam 14.00
3.    ahmad sofian,”Buruknya potret HAM di Indonesia”, Diakses dari situs http://m.kompasiana.com/ahmad-sofian-pkpa/eska-buruknya-potret-ham-di-indonesia-ahmad-sofian_5500628ca333111e73510cad pada tanggal 07 september 2015 pukul 21.56

Selasa, 06 Oktober 2015

ANALISIS SOSIOLOGIS

Oleh: Intan Pratiwi Nirwana Putri (1711143034)
HES 3-B

TABEL PERBANDINGAN MASYARAKAT LAPISAN ATAS DENGAN MASYARAKAT LAPISAN BAWAH



Lapisan Atas
Lapisan Bawah
NO

Kasus Artalyta
Kasus nenek Asyani
Kholil (51) dan Basar (40)
1
Jenis Pidana
penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan
Pencurian  kayu jati milik Perum Perhutani RPH Bondowoso
mencuri 1 buah semangka
2
Nama
Artalyta Suryani alias Ayin
Asyani (63)
Kholil dan Basar
3
Jumlah korban
Masyarakat Indonesia dan negara  indonesia
Perum Perhutani RPH Bondowoso
Pemilik Kebun (Darwati)
4
Jumlah kerugian
(materil atau imateril)
uang 660.000 dolar AS (untuk suap)
kayu satu batang dengan diameter 118 cm
1 Buah Semangka
5
Perlakuan Aparat
Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta, Artalyta sejak dari pengadilan tingkat pertama pada tanggal 29 Juli 2008. Jika dihitung sejak pertama kali ditahan, Artalyta baru menjalani hukuman selama 2 tahun 9 bulan dan 23 hari. Jika dihitung 2/3 masa tahanan dari 4,5 tahun, dia seharusnya baru bebas setelah menjalani hukuman selama 36 bulan atau 3 tahun, atau masih tersisa sekitar 2 bulan 7 hari, pada saat ia menghirup udara bebas. Pembebasan bersyarat itu berlangsung pada tanggal 27 Januari 2011.
-ditangkap secara paksa
-dijatuhi hukuman 1 tahun dan denda Rp 500 juta subsider satu hari kurungan dengan percobaan 15 bulan
-ditangkap secara paksa
-dijerat Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
6
Fasilitas yang di dapat
Mendapatkan fasilitasnya lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa, dapur mewah, lemari makanan, pendingin soft drink, TV plasma, AC, dan berbagai peralatan untuk keperluan bayi yang diadopsinya. Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya




ANALISIS SOSIOLOGIS

                Dari tabel diatas dapat kita analisis bahwa dalam Pengenaan hukum pada Lapisan atas meskipun berada dalam jeruji besi namun masih mendapatkan fasilitas mewah seperti dalam kasus di atas seorang artalyta suryani diberi fasilitas berupa sofa, dapur mewah, lemari makanan, pendingin soft drink, TV plasma, AC, dan berbagai peralatan untuk keperluan bayi yang diadopsinya.  Dan Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya dikarenakan ia merasa mampu untuk membayar semuanya, dan dari petugas masih kurang tegas dalam menyikapi masalah tersebut. Sedangkan dalam kasus hukum yang di alami oleh masyarakat lapisan Bawah Aparatur penegak hukum begitu kokohnya menegakkan hukum tanpa memakai hati nurani, tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan atas kasus yang di tangani. Dalam konteks ini Hukum semakin Tumpul keatas namun Semakin Tajam Kebawah.

Rabu, 16 September 2015

Revisi Artikel Sosiologi Hukum

ISU KEKERASAN MEMBANGKITKAN SOLIDARITAS ANTAR SESAMA

Seperti yang telah kita ketahui bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain disekitarnya. Berbicara mengenai solidaritas, solidaritas sangat penting untuk mempersatukan dan menyamakan perbedaan. Contoh saat orang lain disekitar kita mengalami musibah pasti kita sendiripun ikut merasakan, ikut bersedih. Seperti halnya kasus yang saya temukan beberapa minggu yang lalu mengenai isu kekerasan yang terjadi di salah satu Sekolah Dasar yang berada di Desa Sambirobyong Kecamatan Sumbergempol kabupaten Tulungagung.

Salah seorang Ibu melaporkan bahwa anak nya sebut saja “RK” menjadi korban kekerasan oleh salah satu Guru sukuan yang mengajar di sekolah dasar tempat RK bersekolah tersebut, menurut para saksi RK telah dibully oleh beberapa temannya atas dasar perintah dari oknum guru tersebut karena tidak bisa memahami pelajaran apa yang disampaikan oleh Guru itu. Menurut pengakuan RK, dia Ditendang beberapa temannya sampai meringkuk kesakitan, namun Oknum Guru tersebut membiarkannya dan meninggalkan RK dalam keadaan kesakitan. Berita ini cepat menyebar luas dikalangan Masyarakat sekitar, yang membuat masyarakat ikut geram, marah, kasihan, merasa iba, merasa ikut tersakiti juga, dan tergugah hati nuraninya untuk ikut serta dalam meluruskan masalah ini, tidak sedikit orang memberi support kepada Ibu RK untuk segera meluruskan masalah ini, karena harapan mereka tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi dikemudian hari.

Menurut kasus diatas masyarakat disini tergolong solidaritas mekanis bersifat paguyuban, namun disamping itu masyarakat juga ikut berusaha memulihkan keadaan (restitutif) dengan cara ikut berusaha meluruskan masalah yang terjadi. Dilihat dari tindakan tersebut bahwa yang terjadi disini bertentangan dengan pendapat Emile Durkheim bahwasannya Emiel Durkheim berpendapat bahwa masyarakat yang bersifat paguyuban itu identik dengan sifat represif tetapi kenyataannya pada kejadian diatas mencerminkan bahwa masyarakat yang bersifat paguyuban dapat beriringan dengan masyarakat yang bersifat Restitutif.

Post by : Intan Pratiwi Nirwana Putri
(Tugas Revisi Tanggal 17 September 2015)

Senin, 14 September 2015

artikel sosiologi hukum

ISU KEKERASAN MEMBANGKITKAN SOLIDARITAS ANTAR SESAMA

Seperti yang telah kita ketahui bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain disekitarnya. Berbicara mengenai solidaritas, solidaritas sangat penting untuk mempersatukan dan menyamakan perbedaan. Contoh saat orang lain disekitar kita mengalami musibah pasti kita sendiripun ikut merasakan, ikut bersedih. Seperti halnya kasus yang sya temukan beberapa minggu yang lalu mengenai isu kekerasan yang terjadi di salah satu Sekolah Dasar yang berada di Desa Sambirobyong Kecamatan Sumbergempol kabupaten Tulungagung.
Salah seorang Ibu melaporkan bahwa anak nya sebut saja “RK” menjadi korban kekerasan oleh salah satu Guru sukuan yang mengajar di sekolah dasar tempat RK bersekolah tersebut, menurut para saksi RK telah dibully oleh beberapa temannya atas dasar perintah dari oknum guru tersebut karena tidak bisa memahami pelajaran apa yang disampaikan oleh Guru itu. Menurut pengakuan RK, dia Ditendang beberapa temannya sampai meringkuk kesakitan, namun Oknum Guru tersebut membiarkannya dan meninggalkan RK dalam keadaan kesakitan. Berita ini cepat menyebar luas dikalangan Masyarakat sekitar, yang membuat masyarakat ikut geram, marah, kasihan, merasa iba, merasa ikut tersakiti juga, dan tergugah hati nuraninya untuk ikut serta dalam meluruskan masalah ini, tidak sedikit orang memberi support kepada Ibu RK untuk segera meluruskan masalah ini, karena harapan mereka tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi dikemudian hari.
Dari kasus tersebut dapat kita lihat rasa solidaritas dan rasa toleransi terhadap sesame yang masih sangat kental, namun rasa Solidaritas itu mulai memudar dikalangan masyarakat, namun masih ada beberapa masyarakat yang masih menjunjung tinggi rasa Solidaritas tersebut.

Post by : Intan Pratiwi Nirwana Putri